Pemerintah pusat melalui APBN telah mengucurkan dana desa (DD) sejak tahun 2015, dan jumlah DD sampai saat ini mencapai kurang lebih Rp. 60 triliun. Dana desa tersebut merupakan amanat dari UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mana DD tersebut dimaksudkan untuk membiayai pembangunan desa sesuai dengan kewenangan yang diberikan, yaitu untuk meningkatkan pelayanan public, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan antar desa dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Setelah tiga tahun berjalan, apakah dana desa sudah dikelola untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Waktu tiga tahun masih terlalu dini untuk menilai pencapaian tujuan dari dana desa sesuai dengan mandat undang-undang. Pengelolaan dana desa masih menghadapi kendala-kendala yang menghambat pencapaian tujuan mulia DD yaitu peningkatan kesejahteraan masayarakat desa. Paling tidak saat ini masalah-masalah yang mash sering kita dengar adalah masalah penyalahgunaan DD yang berujung pada tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan oleh pemerintah desa (kades), bahkan ada Kepala daerah yang tersandung korupsi dikarenakan dana desa.
Kapasitas aparatur desa yang masih belum mumpuni menjadi salah satu kendala secara umum dalam pengelolaan anggaran desa. Pemahaman aparatur desa tertutama terkait dengan pertanggungjawaban administrasi, selanjutnya juga terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran desa, rata-rata aparatur desa masih belum memiliki kapasitas yang memadai sehingga produk dokumen perencanaan dan penganggaran masih belum mencermin apa yang sebenarnya menjadi masalah strategis desa, dan juga belum mampu mencerminkan kebutuhan masyarakat terutama kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, kelompok difabel.
Harapan besar terhadap manfaat dana desa bagi kesejahteraan masyarakat sepertinya masih sebatas impian terutama bagi masyarakat, karena pemanfaatan dana desa masih berkutat atau berfokus digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang kurang memberi manfaat kepada pengembangan ekonomi, kebutuhan pelayanan dasar warga desa. Kita bisa saksikan bagimana gapura-gapura desa dibangun dengan begitu megah, sementara disaat yang sama masih banyak warga desa yang tidak dapat mengakses pendidikan dasar, fasilitas kesehatan yang masih buruk dan beragam persoalan ekonomi dan sosial lainnya yang semestinya bisa diatasi dengan adanya dana desa.
Selain itu semuanya, dana desa yang semestinya menjadi alat bagi pemerintah desa untuk memaksimalkan pelayanan kepada warga desa, justru tidak sedikit menghantarkan aparatur desa ke dalam pusaran kasus korupsi. Kita bisa lihat berapa banyak aparatur desa (kades) yang harus berurusan dengan aparat hukum karena dugaan penyalahgunaan dana desa, bahkan di Jawa Timur ada Kepala daerah yang tersangkut korupsi gara-gara dana desa. Berbagai kasus hukum penyalahgunaan dana desa tersebut mencerminkan bagaimana lemahnya kontrol dan partsisipasi masyarakat sehingga aparatur desa bisa dengan leluasa menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi, selain itu memang masih tidak sedikit yang menganggap bahwa masyarakat atau warga desa tidak perlu untuk dlibatkan dalam pembuatan kebijakan APBDesa.
terlepas dari berbagai persoalan tersebut, ada kabar baik yang membuat kita sedikit bergembira. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, dana desa telah berhasil menurunkan angka gini rasio desa dari 0,34 pada 2014 menjadi 0,32 pada 2017. Hal ini menunjukkan adanya pemerataan pendapatan di desa sebagai dampak dari dana desa. penurunan gini rasio juga diikuti dengan menurunnya jumlah penduduk miskin dan persentasenya di perdesaa. Ini artinya penigkatan kesejaheteraan semakin merata.
Kabar baik lainnya, anggaran dana desa tahun 2015-2016 telah berkontribusi posiif dengan kemandirian desa. Desa yang mandiri mengalami peningkatan dari 3 (0,07%) pada 2015 menjadi 73 (1,66%). Itu artinya dalam satu tahun, dana desa telah berhasil mendorong 69 desa menjadi mandiri. Meskipun demikian, persentase peningkatannya paling kecil dibandingkan dengan persentase empat status desa lainnya. Selain itu, status desa berkembang mengalami peningkatan cukup drastis dari 1675 (38,55%) pada 2015, menjadi 2029 (46,70%) pada 2016 (Sumber :Kementerian keuangan). Ini artinya terdapat 354 desa tertinggal beralih status menjadi desa berkembang. Status desa sangat tertinggal juga mengalami penurunan, dari 566 (13,03%) pada 2015 menjadi 264 (6,08&) pada 2016.
Berbagai masalah dan juga keberhasilan dari pengelolaan dana desa, tersebut harus menjadi refleksi bagi semua pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, pemerintah desa sendiri dan juga para pegiat desa untuk mendorong dan mewujudkan sistem yang dapat mendorong perbaikan pengelolaan dana desa agar lebih baik lagi, lebih efektif berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa. Wallahualam!!!
0 Response to "Jebakan Batman Dana Desa"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.