Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bukan Sekedar Tukang Stempel

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) keberadaannya saat ini antara ada dan tiada, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa BPD masih belum banyak berperan. Diakui atau tidak keberadaan BPD tidak lebih hanya sebagai tukang stempel berbagai kebijakan yang disusun oleh Kepala Desa, seperti kebijakan perencanaan dan penganggaran desa. Semua proses perencanaan dan penganggaran (Penyusunan APBDESA) masih didominasi oleh aparatur desa terutama Kepala Desa. Meskipun sebenarnya, dalam setiap tahapan penyusunan APBDesa misalnya BPD memiliki tugas dan fungsi yang cukup strategis.

Belum optimalnya peran BPD dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran desa dikarenakan banyak hal, beberapa diantaranya, BPD baik kelembagaan maupun individu masih rendah kapasitasnya dalam memahami proses-proses dan tahapan perencanaan pembangunan dan penganggaran di Desa, factor lainnya adalah adanya ketidakharmonisan hubungan antara BPD dengan Kepala Desa hal ini biasanya karena factor persaingan politik di Desa. Banyak anggota BPD yang memilih menjadi anggota BPD karena gagal menjadi kepala desa, demikian juga sebaliknya tidak jarang kepala desa memasang orangnya untuk menjadi anggota BPD, ini dilakukan biasanya supaya BPD tidak menjadi hambatan bagi Kades dalam membuat keputusan-keputusan.

Tidak berfungsinya peran BPD di desa, menjadikan tidak ada proses cek and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Maka yang terjadi adalah tidak terkontrolnya penggunaan sumberdaya desa oleh aparatur desa seperti Dana Desa (DD) yang tidak jarang berakibat pada tindakan korupsi karena penyalahgunaan anggaran desa baik oleh aparatur desa maupun kepala desa dan ini sudah banyak terjadi. Disisi yang lain, mandulnya peran BPD juga menyebabkan tidak ada kepercayaan dari masyarakat terhadap institusi BPD sendiri, akibatnya masyarakat tidak merasakan adanya BPD yang semestinya dapat menjadi jembatan aspirasi warga desa.

Tidak adanya lembaga desa yang mampu menjadi tempat menyampaikan aspirasi dan aduan bagi warga, membuat warga desa menjadi apatis dan tidak perduli lagi terhadap penyelenggaraan pembangunan desa dan ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan pemerintahan desa. Karena partisipasi warga desa merupakan kunci atau pengawasan utama bersama BPD terhadap penyelenggaraan pembangunan desa utamanya untuk memperkecil ruang penyalahgunaan sumber daya desa (dana desa) untuk kepentingan pribadi pihak-pihak tertentu. Padahal menurut Arie Sujito, salah satu orientasi pokok undang-undang desa adalah untuk mengatasi apatisme warga – memperkuat partisipasi dalam kebijakan dan penyelenggaraan desa. Menurutnya ada 5 orientasi pokok UU Desa selain soal partisipasi, yaitu : 1) membangun kemandirian desa, 2) Memperkuat pilar demokrasi desa- system cek and balances system pemerintahan dan pembangunan desa, 3) memperbaiki pelayanan public, dan 5) merevitalisasi modal social desa.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, salah satunya adalah dengan memperkuat kelembagaan desa khususnya adalah BPD. Berdasarkan undang-undang desa dan regulasi turunannya, peran BPD setidaknya mencakup beberapa hal, yaitu meningkatkan kemampuan dalam menyusun perencanaan desa bersama perangkat desa, melakukan control atau pengawasan jalanya pemerintahan desa, memperkuat partsisipasi dengan mengajak warga aktif dalam kegiatan pembangunan, menumbuhkan inisiatif warga dalam turut serta mengembangkan program pemberdayaan desa (Ari Sujito, 2017).

Saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerbitkan Permendagri No. 110 Tahun 2016 tentang BPD. Dalam Permendagri tersebut dijelaskan bagaimana fungsi BPD, sebagaiman disebutkan dalam pasal 31, yaitu : a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa (Perdes) bersama Kepala Desa, b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan c. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Berdasarkan fungsi yang disebutkan dalam Permendagri tersebut sangatlah jelas bagaimana strategisnya kelembagaan BPD dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan dan penganggaran desa. Misalnya dalam penyusunan APBDesa harus sepersetujuan BPD, selain itu BPD juga memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan musyawarah desa (Musdes) yang mana musdes ini merupakan forum strategis untuk menyusun dan merumuskan kebijakan-kebijakan desa sekaligus sebagai media keterlibatan warga.

0 Response to "Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bukan Sekedar Tukang Stempel"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.