Akan tetapi ibarat pepatah masih jauh api dari panggangya, justru dana desa menjadi lahan korupsi baru bagi aparat desa yang melibatkan pejabat lebih tinggi lagi seperti kecamatan bahkan pejabat tingkat Kabupaten/Kota. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya menemukan 12 modus korupsi dana desa, diantara adalah :
- Membuat Rancangan Anggaran Biaya di atas harga pasar
- Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa, padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain
- Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan
- Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupten
- Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajaranya
- Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa
- Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor
- Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak
- Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkannya secara pribadi
- Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa
- Melakukan permainan (konkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa
- Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.
Modus-modus korupsi tersebut paling banyak dilakukan oleh Kepala desa, menurut data ICW pelaku korupsi atau aktor korupsi dari 110 kasus korupsi 107 pelakunya adalah Kepala Desa. Dalam sistem pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa merupakan Kuasa Pengguna Anggaran Desa dengan posisi tersebut seorang kepala desa memiliki peluang dan kesempatan sangat besar untuk melakukan penyimpangan dana desa. Apalagi perangkat desa yang lain biasanya masih memiliki rasa ewuh pakewuh dengan Kades, sehingga tidak berani untuk menegur atau mengingatkan Kades ketika menggunakan anggaran diluar yang semestinya.
Selain itu, penyelewengan dana desa juga disebabkan kapasitas pemerintah desa untuk menyusun perencanaan pembangunan sehingga dana desa banyak dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang banyak tidak bermanfaat untuk perbaikan pembangunan desa, apalagi pemerintah desa selalui dibayangi dengan masalah serapan dana desa yang menjadi target dari pemerintah Kabupaten sebagai prasyarat pencairan dana desa tahap berikutnya dalam satu tahun anggaran. Pada akhirnya desa membuat program dan kegiatan yang terkesan asal-asalan sekedar untuk menghabiskan anggaran dengan menyiasati pertanggungjawaban administrasinya sehingga berujung pada potensi korupsi tadi.
Faktor lainnya adalah adanya kepentingan dari pihak supra desa, untuk memperoleh keuntungan dari dana desa yang diterima oleh desa. Peluang tersebut berawal dari proses pencairan desa. Berdasarkan aturan yang ada, dana desa tidak langsung ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah desa melainkan melalui pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dengan harapan memang pemerintah daerah dapat melakukan pengawasan dan mengontrol penggunaan dana desa.
Untuk dapat mencairkan dana desa, pemerintah desa disyaratkan untuk menyusun atau membuat dokumen perencanaan pembangunan (RKPDESa) dan perencanaan keuangan (APBDESA), dua dokumen tersebut kemudian di review oleh pemerintah daerah melalui kecamatan, nah proses inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh kecamatan maupun pejabat di Kabupaten untuk memungut uang dari desa supaya prosesnya lancar. Yang terjadi kemudian, pihak kecamatan cenderung mengabaikan subtansi atas dokumen RKPDesa maupun APBDesa tetapi tergantung besaran setoran yang diberikan.
Korupsi pada prinsipnya sama dengan kejahatan yang lain, seperti kata Bang Napi kejahatan tidak hanya karena niat tapi karena ada kesempatan. Oleh karena itu memperbaiki sistem untuk memperkecil kesempatan penyelewengan dana desa merupakan hal mutlak, agar dana desa benar-benar memberikan manfaat bagi pembangunan desa. Perbaikan prosedur dan tata kelola dana desa, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban harus segera dilakukan.
Pada Tahap Perencanaan, harusnya ada sistem informasi perencanaan keuangan daerah yang terintegrasi dengan berbagai tingkatan pemerintah sehingga baik pemerintah desa dan pemerintah daerah dapat mengotrol rencana penggunaan anggaran, dan yang tidak kalah penting adalah sistem informasi tersebut dapat diakses oleh warga desa. Tahap pelaksanaan, mesti ada sistem monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dana desa.
Instrumen monitring dan evaluasi ini bisa dibuat secara periodik (setiap triwulan) dan instrumen ini juga memnungkinkan warga desa dapat melakukan penilaian, termasuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang melakukan evaluasi tiap triwulan. Selanjutnya pada tahap pertanggungjawaban, secara administrasi ada penyederhanaan laporan administrasi keuangan, selian itu juga pertanggungjawaban tidak hanya disampaikan kepada pemerintah daerah dan BPD tetapi juga ada mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana desa kepada warga desa.
0 Response to "Modus dan Aktor Korupsi Dana Desa"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.