50 % Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Belum menempatkan Jaminan Reklamasi

Tata Kelola Tambang masih diliputi persoalan serius, terutama soal jaminan perbaikan lingkungan atau perbaikan lahan yang digunakan sebagai lokasi pertambangan. Perbaikan lingkungan atau pemulihan lahan tambang merupakan kewajiban bagi pemegang IUP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, penempatan Jamrek (Jaminan Reklamasi) dan Jaminan Pasca Tambang merupakan prasyarat wajib yang harus dipenuhi sejak awal, baik IUP yang berstatus eksplorasi maupun IUP yang telah memasuki fase operasi produksi.

Berdasarkan Permen ESDM tersebut, Perusahaan yang memegang IUP eksploitasi wajib menyerahkan rencana reklamasi sesuai dengan jangka Waktu 5 (lima) tahun. Sedangkan kegiatan pasca tambang, dilakukan setelah kegiatan pertambangan selesai, yang terdiri dari reklamasi, pemeliharaan reklamasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan.

Untuk menunjukkan keseriusan perusahaan dalam melakukan reklamasi dan pascatambang, perusahaan harus menyerahkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Dana Jaminan reklamasi ditempatkan di Bank pemerintah Indonesia atas nama pemegang IUP eksplorasi bersangkutan, sedangkan dana pascatambang disimpan dalam bentuk rekening bersama dengan pemerintah, deposito berjangka, bank garansi yang diterbitkan oleh bank pemerintah, atau dalam bentuk cadangan akuntansi.

Namun, sepertinya aturan tersebut masih belum banyak dilaksanakan oleh pemegang IUP, berdasarkan catatan PWYP (Publish What You Pay), hingga awal 2018, persentase pemegang IUP yang menempatkan dana tersebut hanya 50 % dari total keseluruhan IUP yang ada atau hampir 5000 IUP. Ketidakpatuhan perusahaan pemegang IUP, menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik. Perusahaan yang secara prosedural menyalahi regulasi dan standar kegiatan pertambangan masih saja dibiarkan leluasa menjalankan kegiatan operasinya.

Menurut Carolus Tuah, implikasi buruk ketidakpatuhan IUP terkait kewajiban reklamasi dan pascatambang tampak nyata diberbagai daerah. Di Samarinda misalnya, 32 IUP meninggalkan 232 lubang tambang menganga tanpa dilakukan reklamasi. Sepanjang 2012 hingga 2017, tercatat 28 nyawa anak yang terenggut di lubang tambang yang dimiliki oleh 17 IUP di Kalimantan Timur. Hal ini menurut Tuah, merupakaan akibat tidak bernyalinya pemerintah untuk menagih janji reklamasi dan pasca tambang.

Terhitung sejak tahun 2015 hingga 2017, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) telah memberikan 3 (tiga) kali surat peringatan. Bahkan, pada bulan Juni tahun 2017 Dirjen Minerba telah menerbitkan Surat Edaran (SE) nomor 1187/30/DJB/2017 perihal Sanksi Penghentian Sementara, untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha pertambangan, namun upaya ini tidak efektif. Data Kementerian ESDM per awal 2018 menunjukkan bahwa persentase pelaksanaan kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang hanya naik sebesar 2 % dibandingkan periode September 2017.

“Secara administratif, pencabutan IUP merupakan langkah yang harus segera diambil upaya melakukan penertiban. Harus digarisbawahi, langkah pencabutan IUP ini tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP dalam melaksanakan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus melakukan pengawasan dan memastikan Pemerintah Daerah benar-benar mencabut IUP yang tidak menempatkan jamrek dan pascatambang serta menyiapkan sanksi bagi Kepala Daerah yang tidak menjalankannya,” terang Aryanto.

Aryanto menambahkan,”Pemerintah harus menggunakan instrumen pidana, baik yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup (PPPLH), terhadap seluruh perusahaan baik KK & PKP2B maupun pemegang IUP yang terbukti tidak patuh terhadap kewajiban reklamasi & pascatambang yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan dan menyebabkan hilangnya nyawa.”

“Selain itu, KPK, Kapolri dan Jaksa Agung harus memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus pidana maupun korupsi yang dilakukan korporasi sektor pertambangan, termasuk menggunakan instrumen Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi” tegas Aryanto.

PWYP Indonesia mendorong pemerintah untuk membuka data ke publik, seluruh daftar nama-nama perusahaan yang tidak patuh menempatkan dana jamrek dan jaminan pascatambang. Pemerintah juga harus memberlakukan sekaligus mengumumkan black-list kepada korporasi pelaku kejahatan pertambangan termasuk pemilik sesungguhnya (beneficial ownership) serta memastikan perusahaan maupun pemiliknya tidak mendapatkan layanan publik.

Pemerintah perlu membangun dan mengembangkan mekanisme penanganan pengaduan masyarakat yang efektif, responsif dan terintegrasi. Keberadaan mekanisme penangangan pengaduan yang jelas dan berkelanjutan, memungkinkan masyarakat memberikan informasi faktual dan masukan dari lapangan terkait kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang.

Pemerintah juga harus berfokus pada kesiapan sumber daya manusia pengawasan terutama dalam hal jumlah Inspektur Tambang (IT) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Data Kementerian ESDM (25 Januari 2017) menunjukkan, ketersediaan inspektur tambang masih belum ideal karena hanya terdapat 949 personil (termasuk yang belum mengikuti diklat) untuk melakukan pengawasan ribuan pemegang IUP di seluruh Indonesia. Belum lagi, dengan jumlah PPNS Minerba yang hanya berjumlah 34 orang tanpa adanya dukungan kelembagaan, sarana prasarana dan anggaran yang memadai. PWYP Indonesia mendorong Kementerian ESDM untuk membentuk unit penegakan hukum (gakum) dengan dukungan yang memadai untuk mengefektifkan pengawasan di sektor minerba.

0 Response to "50 % Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Belum menempatkan Jaminan Reklamasi"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.